just simple, sharing, n so on

gravatar

[Review] Alangkah Lucunya Negeriku


Film ini dibuka dengan menampilkan kondisi lalu lintas Jakarta yang semrawut. Muluk (Reza Rahadian), tokoh utama dalam film ini, begitu entengnya melewati rel kereta api dengan kondisi kereta api sedang berjalan menuju ke arahnya. Kehidupan pasar tradisional ditampilkan apa adanya. Banyaknya peramal, penjual obat, dan sejenisnya seolah ingin menggambarkan keputusasaan sebagian besar masyarakat menghadapi kondisi saat ini dan mencoba mencari “hiburan” berupa janji-janji kan berubahnya nasib mereka.

Kondisi kumuh pasar tradisional ditampilkan. Puncaknya adalah tampilnya para pencopet cilik yang terampil menjalankan aksinya. Di sinilah awal mula film ini bergulir. Ketika tertangkap tangan, sang pencopet kecil yang kemudian diketahui bernama Komet, diberi nasehat oleh Muluk untuk meminta baik-baik ketika membutuhkan uang. Dengan enteng Komet berkata,”Saya kan pencopet bukan peminta-minta.”

Cerita kemudian bergulir dengan dialog-dialog berbobot di antara tokoh tua yaitu Deddy Mizwar yang memerankan Pak Makbbul (ayah Muluk) dan Jaja Miharja sebagai Haji Sarbini (calon mertua Muluk) plus sosok pak Haji Rahmat) yang diperankan Slamet Rahardjo. Tema dialog adalah soal perlu tidaknya pendidikan dengan mengambil contoh kondisi Muluk, seorang sarjana manajemen yang sedang luntang-lantung mencari perkerjaan selama 2 tahun dibanding anak-anak Jaja Miharja yang sukses sebagai pedagang meskipun hanya tamat SMU.

Realita kehidupan di masyarakat yang “sakit” dipotret dalam film ini secara lugas. Potret Jupri, calon anggota DPR yang diperankan Edwin, seolah mencoba menyindir sebagian calon anggota legislatif yang terkesan sedang mencari pekerjaan dengan diiringi bahasa klise tentang perjuangan untuk rakyat. Begitu juga dengan gambaran Pipit yang tenggelam dengan mimpi menjadi pemenang kuis dan Samsul, seorang sarjana pendidikan yang terlalu lama menjadi pengangguran berusaha menghibur diri dengan main “gaple” tanpa mengenal waktu. Kehidupan keluarga, Pak Haji yang diperankan Slamet Rahardjo, seorang pensiunan Depag dengan istri yang sibuk dengan dirinya sendiri plus Pipit yang sibuk mengamati acara kuis di TV.

Pendidikan menjadi tidak penting seolah dikuatkan dengan potret para sarjana pengangguran semacam Muluk, Pipit, dan Samsul. Cerita beralih menjadi heroik tatkala ketiga sarjana pengangguran ini mendidik sekitar 20-an pencopet yang dikoordinir Jarot (Tio Pakusadewo). Meskipun terkesan mengada-ada bahwa ketiga sarjana tersebut mengajar dengan biaya dari 10% hasil mencopet, namun kekuatan dialog-dialog segar, menghibur, dan sarat makna dalam proses “pendidikan” bagi pencopet anak-anak merupakan inti dari film ini.

Lihat saja dialog menarik antara pencopet dengan Samsul dan Muluk tentang penting-tidaknya suatu pendidikan. “Apa gunanya pendidikan bagi pencopet?”. Sebuah pertanyaan lugu dan mewakili pertanyaan dari kaum yang terpinggirkan. Jawabannya pun sungguh di luar dugaan. Samsul, seorang sarjana pendidikan yang tidak yakin bahwa pendidikan diperlukan, menjawab pertanyaan tersebut dengan gaya satir. “Pencopet perlu pendidikan. Dengan mempunyai pendidikan, mereka bisa bekerja di kantor. Dengan demikian mereka mempunyai kesempatan untuk mencopet “brankas” kantor dan akan mendapatkan hasil yang jauh lebih besar dari apa yang mereka lakukan selama ini. Status mereka bukan menjadi pencopet lagi. Mereka akan naik kelas menjadi koruptor” Demikian kira-kira jawaban Samsul yang membuat 20-an pencopet menjawab serempak,”Saya ingin menjadi koruptor“.

Film ini juga kaya dengan berbagai teknik mencopet di pasar, mall, dan angkutan kota.. Organisasi pencopet pun dikupas cukup cerdik. Komet adalah koordinator copet di pasar, Glen koordinator copet di Mall, dan Kampret koordinator copet di angkutan umum. Tidak lupa mafia copet ini digambarkan juga berada di bawah oknum aparat “penegak hukum”.
Jeritan ketidakadilan mampu dibawakan Samsul dengan sangat baik. Tangisannya melihat ketidakadilan, kepedihan, dan keputusasaannya mampu menghipnotis penonton. Koruptor telah merampas hak mereka. Koruptor telah membuat mereka sengsara, namun tidak banyak orang yang menyadarinya. Kalaupun mengetahui, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menerima kenyataan.

Klimaks cerita mulai terlihat saat Pipit panik, ketika dia mau berangkat ‘kerja,’ tiba-tiba saja trio Haji (Haji Rahmat, abahnya sendiri, Haji Sarbini, dan Haji Makbul) punya ide untuk ikut Pipit ke ‘kantor’-nya karena ingin tahu seperti apa pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak mereka. Pipit tak bisa menolak, maka berangkatlah dia ke markas diiringi 3 Bapak itu. Syamsul yang sedang mengajar di markas dan Muluk pun terkejut mengetahui rombongan yang datang bersama Pipit. Awalnyanya ketiganya bangga saat Pipit dan Syamsul memamerkan bagaimana murid mereka unjuk kebolehan membaca surat dalam Al Qur’an dan hafal butir Pancasila. Sampai kemudian ketiga Bapak yang religius itu tahu bahwa “sumber daya manusia” yang dikembangkan oleh Muluk, Syamsul, dan Pipit semuanya pencopet, tanpa terkecuali.

Suasana haru coba diciptakan dalam film ini saat Haji Rahmat dan Haji Makbul berangkulan menuju masjid untuk mohon ampun pada Tuhan karena mereka sudah ikut makan uang haram, hasil kerja anak mereka. Ekstremnya, Haji Makbul bahkan memisahkan stoples tempat kopi, gula, dan teh untuknya dan untuk Muluk, saat tiba di rumah. Kondisi ini membuat Muluk dan Pipit terpukul lalu berencana untuk menghentikan usaha mereka. Syamsul yang paling tidak terima. Ia merasa sudah menjadi manusia saat kepandaiannya terpakai dengan mengajar, sampai ia berkata dengan keras pada Muluk, “Apa lu mau gue balik lagi tiap hari main gaple ?”

Tetapi Muluk tetap pada keputusannya. Ia sudah bisa membelikan beberapa kotak asongan agar anak-anak didiknya mau beralih profesi menjadi pedagang asongan, dari tabungan hasil mencopet yang sudah ia simpan di sebuah bank syariah hingga mencapai angka Rp 21 juta.

Film ini tidak diakhiri dengan “happy ending”. Samsul kembali main gaple, Pipit tenggelam di alam mimpinya, Muluk bahkan ditahan satpol PP. Begitu juga anak didik mereka, ada yang meneruskan profesinya sebagai pencopet, namun ada sebagian yang mencoba menjadi pengasong. Kedua profesi yang sama-sama beresiko. Ending yang terkesan menggantung memang sengaja dibuat untuk meminimalisir kesan hiperbola dan fiksi film. Agar realita sosial lebih terangkat ending film yang demikian diciptakan, dimana tidak terjadi kejelasan nasib baik Muluk, Samsul, Pipit, dan para pencopet “didikan” mereka. Film ini merupakan refleksi sosial dan mencoba menertawakan diri sendiri ini merupakan sindiran tentang realita yang hidup di masyarakat.

*dikutip dari berbagai sumber dengan sedikit perybahan.
*cmiiw, keep sharing n be inspiring ;)